Occupational Deprivation dalam Kasus Human Trafficing pada Anak
Human
trafficking merupakan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat, yang sering dikaitkan dengan kekerasan ekstrem dan berbagai macam
dampak baik secara fisik, mental maupun seksual. Setiap tahunnya banyak pria,
wanita dan anak-anak jatuh ke tangan para pedagang, baik di negara mereka
sendiri maupun di luar negeri. Human
trafficking tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga pada
anak-anak baik perempuan maupun laki-laki.
Human
Rights Protocol Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada pasal
3, menyebutkan perdagangan manusia termasuk setiap aksi perekrutan,
pengangkutan, pemindahan, penerimaan, penjualan, atau pembelian manusia melalui
paksaan, penipuan, pembohongan, atau taktik dengan tujuan menempatkan korban
dalam kondisi kerja paksa, praktek yang menyerupai perbudakan atau penghambaan.
Kondisi kejahatan terjadi ketika tenaga kerja (korban) diperoleh dengan cara
paksaan fisik atau non-fisik, pemerasan, pembohongan, penipuan, ancaman atau
penggunaan kekerasan fisik dan tekanan psikologis (Daniel, 2017).
Korban trafficking pada anak adalah setiap
orang di bawah usia 18 tahun yang direkrut, dipindahkan, diangkut, dipendam,
atau diterima untuk tujuan eksploitasi, baik di dalam maupun di luar suatu
negara.
Sifat human trafficking pada anak yang tidak
terlihat (sembunyi-sembunyi) serta kurangnya pengumpulan data yang kuat
menyulitkan untuk mengetahui jumlah korban anak secara global. Namun,
diperkirakan bahwa sekitar 1,2 juta anak diperdagangkan di seluruh dunia setiap
tahun.
Indonesia bukan hanya menjadi
sumber utama modal manusia untuk perdagangan manusia tetapi juga menjadi negara
tujuan dan transit bagi para korban dari negara-negara tetangga. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat memasuki awal tahun 2018 ada sebanyak
32 kasus trafficking dan eksploitasi
yang dialami oleh anak-anak di Indonesia. Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi Anak, Ai
Maryati mengatakan, dalam tiga bulan awal tahun 2018, ada banyak kasus trafficking dan eksploitasi yang menyasar
anak dibawah umur. Dari sekian banyaknya kasus, kasus eksploitasi seks
komersial terhadap anak mendominasi pelaporan di awal tahun 2018 (Okezone.com,
2018).
Kasus trafficking di Indonesia terjadi karena
berbagai faktor. Menurut Cullen-DuPont (2009) yang dikutip oleh Niko (2017) penyebab
yang mungkin terjadi adalah kemiskinan, akses pendidikan tidak memadai,
prostitusi, sex tourism, bahkan
korupsi. Menurut pendapat Ebbe & Das (2008) yang dikutip oleh Niko (2017), determinisme ekonomi merupakan faktor
yang sangat penting yang menyebabkan
trafficking pada anak-anak dan perempuan. Tingkat ekonomi yang rendah
menjadi alasan untuk bertahan hidup (survival).
Selain itu, kurangnya penegakan hukum di Indonesia membuat kasus human trafficking terus terjadi.
Dalam kasus human trafficking pada anak, anak yang
diperdagangkan dipaksa untuk menjadi
tentara, dijual untuk seks atau melakukan pekerjaan yang sangat keras, anak
dijadikan sebagai tenaga kerja yang murah bahkan tidak dibayar, seperti bekerja
sebagai pembantu rumah tangga atau pengemis, bahkan direkrut menjadi kelompok
bersenjata. Perempuan dan anak
perempuan sering kali diperdagangkan untuk eksploitasi, prostitusi dan
perkawinan.
Pada
umumnya occupations seorang anak
yaitu belajar dan mengeksplorasi kemampuan atau bakat yang dimiliki. Dampak
dari human trafficking pada anak akan
mempengaruhi occupations-nya dimana
anak tidak mampu berpartisipasi pada occupation-nya
yang bermakna serta anak mengalami keterpaksaan dalam menjalankan oocupations-nya atau disebut dengan occupational injustice.
Occupational injustice didefinisikan
oleh Nilsson dan Townsend (2010) sebagai hasil dari kebijakan sosial dan bentuk
lain dari tata kelola yang mengatur bagaimana kekuasaan diberikan untuk
membatasi partisipasi populasi atau individu dalam pekerjaan sehari-hari (Hammell & Beagan, 2017).
Human
trafficking pada anak termasuk kedalam occupational deprivation karena menurut
Whiteford (2000) yang dikutip oleh Hammell and Brenda Beagan (2017)
mendefinisikan occupational deprivation
sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau suatu kelompok tidak mampu
melakukan hal-hal yang penting dan bermakna dalam kehidupan mereka karena
faktor-faktor yang terjadi di luar kendali individu atau kelompok.
Dalam kutipan Durocher dkk
(2014), Whiteford (2000, 2010) dan Wilcock (2006) menyatakan bahwa keadaan
eksternal ini mungkin termasuk faktor sosial, lingkungan, ekonomi, geografis,
sejarah, budaya, politik atau interpersonal. Whiteford (2010) membedakan occupational deprivation dari gangguan
pekerjaan, kondisi sementara yang mungkin disebabkan, misalnya, sakit. Occupational deprivation dikatakan
memiliki efek jangka panjang dan pervasif pada individu (Whiteford 2012;
Wilcock, 1998, 2006) dan juga dapat memiliki implikasi kesehatan yang
signifikan (Wilcock, 2006).
Dalam kasus human trafficking pada anak, anak tidak
mampu melakukan hal-hal yang penting dan dibutuhkan untuk melangsungkan
kehidupannya, seperti belajar dan mengeksplorasi kemampuan atau bakat yang
dimiliki serta anak tidak mampu melakukan hal-hal yang bermakna dalam hidup
mereka. Hal ini terjadi karena adanya batasan dari luar yang menjadi alasan
ketidakmampuan anak korban human
trafficking dalam menjalankan occupational-nya
atau keterpaksaan anak dalam menjalankan occupations-nya
seperti dipaksa untuk menjadi
tentara, dijual untuk seks dan lain sebagainya. Sebagian besar faktor
ekonomi dan hukum lah yang menjadi faktor utama dalam kasus human trafficking pada anak.
Saran yang dapat
diberikan untuk mengurangi dan mencegah kasus human trafficking pada anak yaitu:
-
Faktor ekonomi, sebaiknya pemerintah memberikan
program-program yang dapat mengurangi tingkat kemiskinan.
-
Faktor hukum, sebaiknya pemerintah mempertegas
undang-undang tentang human trafficking dan
perlindungan anak agar kasus human
trafficking khususnya pada anak dapat teratasi.
Dengan mengurangi dan
mencegah kasus human trafficking pada
anak diharapkan anak mampu kembali dalam menjalankan oocupation-nya atau aktifitas yang bermakna bagi dirinya (occupatiponal justice). Sehingga, secara
terus menerus anak mampu mencapai well-being
dalam kehidupannya.
Referensi
Hammell, K.
R. W., & Beagan, B. (2017). Occupational injustice: A critique: L’injustice
occupationnelle: une critique. Canadian Journal of Occupational Therapy, 84(1),
58-68.
Durocher,
E., Gibson, B. E., & Rappolt, S. (2014). Occupational justice: A conceptual
review. Journal of Occupational Science, 21(4),
418-430.
Niko, N.
(2017). Fenomena Trafficking in Person Di Wilayah Perbatasan Kalimantan
Barat. Raheema, 4(1), 32-45.
Okezone.com
(2018). Kasus Trafficking dan Eksploitasi Anak di Indonesia pada Awal 2018. https://news.okezone.com/read/2018/04/03/337/1881471/ada-32-kasus-trafficking-dan-eksploitasi-anak-di-indonesia-pada-awal-2018. Diakses pada 4
November 2018.
Daniel, E.
S. R., Mulyana, N., & Wibhawa, B. (2017). Human Trafficking di Nusa
Tenggara Timur. Share: Social Work Journal, 7(1),
21-32.
Komentar
Posting Komentar